Sabtu, 16 Januari 2010

LAPAK PULOMAS











Pengusaha (Lapak) Modal Besar (serius bisnis lapak)











Pengusaha (Lapak) juga Modal Besar (niat bisnis lapak)








Model aneka Lapak : Gelaran ...








Gantung-gantung niat...








Gantung-gantung alakadar. Tipikal TDA amfibi...











Makin ke tengah, makin adem, makin banyak penjual dan pembeli



Setelah 2 minggu di Bazaar Vila Nusa Indah 3, akhirnya saya coba pindah ke Pasar Kaget Pulomas. Sebenarnya untuk yang baru belajar, Bazaar Vilani 3 ini lumayan, tapi karena jauh banget dari tempat tinggal, saya tekor melulu di bensin dan tol.

Hari Minggu pertama berangkat habis subuh. Sampai disana saya tanya ke tukang parkir, kalo mau ikut jualan ijinnya ke siapa. Langsung saja saya juga minta nomor HP bapak 'pengelola' tersebut, daripada saya repot cari-cari. Maklum, Pasar Kaget Pulomas kabarnya panjangnya 2 kali Pasar Kaget Kalibata, dan saat subuh suasana ribet dengan pedagang yang mulai persiapan.

Karena dianggap baru belajar, saya terserah mau pilih dimana. Biaya retribusi per harinya Rp 5.000,. ditambah Parkir Rp 1.000,- dan iuran RW Rp 1.000,-. Waktu jualan biasanya sampai jam 12 siang.

Pada batas jalan (trotoar) di kanan kiri jalan ada yang sudah diberi nomor untuk ukuran 1 meter. Saya lihat nomor sudah sampai 150 di kanan dan kiri jalan. Berarti ada sekitar 300 pedagang di Pasar Kaget Pulomas.
Karena sudah tidak kebagian tempat yang bernomor, saya parkir saja meneruskan barisan lapak-lapak. Tempatnya belum dinomori karena nyaris diujung. Setelah saya masih ada sekitar 5 baris pedagang di kanan kiri yang ambil tempat.
Langsung deh keluarkan semua 'bekal' yang ada. Formasinya masih seperti di Bazaar Vilani 3. Gantungan baju, body display, kaos-kaos. Karena berangkatnya terburu-buru, ternyata saya hanya membawa separuh barang dagangan yang saya punya. Ya, sudah, digelar saja...

Hari pertama ini, untuk pertama kali sejak mulai jualan saya bisa dapat untung setelah dipotong biaya-biaya. Omzetnya masih sekitar Rp 400.000, untungnya Rp 75.000,-.
Di blog-nya mas Ananto, (http://hendrainc.blogspot.com/2007/03/ananto-sharing-tda-lapak-tangerang.html) katanya di Pasar Kaget Tangerang di hari pertama dalam semalam bisa dapat omzet Rp 1.6 juta, padahal belanja barang hanya Rp 1.3 juta. Hebat-hebat... Insya Alloh, saya juga bisa... nantinya.

Saya selesai jam 10 pagi. Maklum, anak-anak 'kan perlu disiapin makan siang.

Hari Minggu kedua, saya lebih siap, pokoknya tidak ada yang ketinggalan (termasuk body lotion untuk menghindari gosong matahari). Saya ambil tempat di lokasi yang kemarin. Well, dari sini saya mulai ingat pelajarannya Bapak Marketing abad 20 Peter F. Drucker : bahwa lokasi itu menentukan. Karena cuaca pagi itu cerah banget, jadinya pengunjung mudah lelah untuk terus menelusuri jalan. Mereka hanya melihat dari kejauhan untuk kemudian langsung balik badan... Grak!! Jadi, bagaimana dagangan saya mau dibeli, kalo dilewati saja tidak. Padahal di deret setelah saya, masih ada jualan yang bagus2 lho. Tapi karena pohonnya tidak rindang, jadinya pada malas jalan sampai ke ujung.










Hari Minggu ke 2.

Syukur alhamdulillah, karena tertolong variasi barang (yang minggu lalu tertinggal), omzet saya naik sedikit (puluhan ribu saja) dari minggu lalu. Untungnya juga naik sedikit.

Saya juga dapat info bahwa selama petak bernomor belum ada yang resmi 'memilikinya', pedagang bebas-bebas saja menempati tempat manapun. Oke, minggu depan saya akan datang lebih pagi untuk coba ambil posisi ditengah medan perang (maksudnya pede jualan ditengah para lapak modal besar).









Hari Minggu ke 3

Hari Minggu ketiga. Sebelumnya Saya sudah dapat info bahwa untuk dapat lokasi bernomor saya harus bayar Rp 200.000 per meter, berlaku seumur-umur (selama Pemda tidak ngusir). Selain itu ada kartu anggota Pasar Kaget Pulomas Rp 50.000 setahun. Biaya tersebut diluar pungutan harian Rp 7.000,-.
Saya ambil lokasi agak ke tengah, tapi di tempat yang belum diberi nomor (takut kalo harus berantem dengan 'pemiliknya', bila sudah ada). Alhamdulillah cuaca sejuk banget (karena semalam hujan). Karena posisi sudah agak ke tengah, saya bisa melihat jumlah pengunjung lebih banyak. Omzet saya naik sedikit lagi, jadi Rp 800.000,- untungnya Rp 160.000,-. Masih sedikit ya? Karena saya dengar pedagang lapak biasanya ambil untung diatas 100%. Tapi tahapan saya memang masih begini : Modal kecil, sehingga tidak bisa dapat diskon dari kulakan; dan Masih Pemula, sehingga harus jadi malaikat (kasih harga murah dan service memuaskan) bagi pembeli. Wajar deh, untungnya gak bisa gede.. Insya Alloh, ada masanya saya bisa untung lumayan tapi tetap jadi malaikat.
Sebelumnya saya sudah diberi info oleh si Bapak, bahwa untuk dapat petak bernomor saya harus membayar Rp 200.000,- per meter berlaku seumur-umur (selama tidak diusir Pemda), ditambah biaya kartu anggota Pasar Kaget Pulomas Rp 50.000,- untuk setahun. Biaya ini diluar pungutan harian Rp 7.000,-.

So I beg (without cry) untuk jangan dulu diikutkan nomor. Nggak apa-apa deh sementara saya jadi Mojok Mania. Karena angka segitu gede benar kelihatannya. Setiap jualannya saya hanya bawa sekitar 4 lusin kaos, jadi asli deh saya gak nyaman berada disamping pedagang lapak profesional. Tapi, bila prospek saya sudah ada harapan menuju kesana, dengan senang hati deh saya ikutan. Saya tanya kanan kiri, ternyata ada yang sudah jualan 2 bulan tapi hanya kena pungutan harian. Ternyata seperti halnya pengunjung, Bapak Pengelola itu juga capek kalo harus jalan sampai ke ujung. Jadi batasan pengawasannya hanya sampai pohon rindang, hehe...
Dari surving dan sesama teman lapak, sedikit-sedikit saya mulai dapat info lokasi Lapak yang lain. Di Kalibata Stekpi, pungutannya sekitar Rp 10.000 - Rp 30.000 per hari (belum ada info tentang biaya patok lokasi), di Tangerang Rp 100.000 per malam, di Sogo Jongkok Plaza Mandiri pungutan per hari Rp 5.000,- plus biaya patok tempat Rp 750.000 per bulan. Di Cibinong sekitar Rp 5.000 - Rp 10.000 (Rp 500 - Rp 1.000 per pungutan, tapi yang mungut bisa 10 orang). Di Taman Mini sekitar Rp 30.000 belum termasuk ongkos masuk orang dan mobil. Kalo di Pulomas sepertinya saya susah menjual barang diatas Rp 20.000,- di Taman Mini kabarnya lebih menengah ke atas.

Bila dibandingkan ikut Bazaar jelas lebih murah, karena event2 Bazaar di lokasi perkantoran/acara2 yang ditawarkan EO rata-rata mematok Rp 350.000,- per hari. Pantesan harga barang di Bazaar nggak ada yang murah ya...

Hari Minggu ke empat. Omzet saya anjlok total sampai Nol. Alias saya tidak bisa jualan karena hujan deras. Pedagang yang sudah terlanjut datang hanya bisa parkir, cuma pedagang makanan yang sepertinya masih bisa buka. Pembelinya adalah pedagang yang tidak bisa jualan. Karena sepanjang lokasi jalannya tergenang, dan hujan turun cukup deras, dijamin nyaris tidak ada pengunjung yang mau mampir.

Padahal setelah omzet yang lumayan di minggu ke tiga Pulomas, saya kulakan barang cukup banyak lho. Menghabiskan modal hasil omzet selama 1 bulan jualan. Selain itu, hari ini suami bisa ikut menemani, jadinya mau sekalian show off ke investor, dalam rangka minta tambah modal, gitu....








Hari Minggu ke 4. Hujan.....

Nggak apa-apa, momen penggantinya juga asyik : berduaan makan bubur ayam ditengah hujan.
















































Jumat, 08 Januari 2010

Lapak : Memulai Usaha Murah Meriah Mudah

Sejak kenal TDA 2 tahun lalu, terus terang agak sulit untuk mulai action karena terbentur masalah mental (gaji dan posisi di kantor sudah lumayan). Sehingga apapun rencana bisnis yang ada dipikiran selalu mentok, karena selalu ujung-ujungnya (refleks aja) dibanding-bandingkan dengan gaji. Belum lagi, karena masalah gaji dan kedudukan di kantor ini, membuat dukungan keluarga jadi minus.
Awalnya saya coba bikin toko online. Barang2 sudah dibeli. Pesan nama hosting seratusribuan setahun. Ketika menghubungi web designer, dia minta 2 juta. Akhirnya saya lebih memilih membuat toko online dengan panduan buku joomla beli di Gramedia. Ada CD, dan caranya mudah, harganya gak sampai 50 ribu. Tapi, sampai sekarang nggak jadi2.

Kenapa?

Maklum, saya 'kan berstatus Mom. Nah, anak2 pada aneh, tumben lihat mamanya libur kok betah dirumah aja tapi tidak mau ajak main mereka ('kan mama sibuk di depan komputer), buntutnya malah pada aktif colak colek mama. Minta gendong, minta mandi, dsb. Yang enak pengasuh2nya. Bisa telpon-telponan pacar. Hehe..

Kegiatan motret, menentukan harga, ngikuti step by step petunjuk di buku, ternyata capek benar bila dilakukan sendiri. Terutama bila item barangnya cukup banyak.

Intinya, saya kecape-an. Pelan-pelan berhenti deh persiapan buka toko online-nya. Dimantapkan dengan peristiwa kebablasan mendelete program joomla-nya sewaktu sedang menghapus program2 game di komputer.

Lewat deh target TDB 90 days Challenge dari Pak Rony.

Tapi, karena virusnya masih ada di dalam hati, sekali-sekali saya surving dan baca-baca terkait mompreneurship. Hanya saja, motivasi get other income sudah hilang. Saat ini pengalaman masuk dunia entrepreneur lebih saya perlukan untuk memperkaya kehidupan anak-anak.

Ketemu blognya Mba Lina. Sepertinya kondisi sehari-hari dia mirip saya. Blognya di http://linasuharlina.blogspot.com/ sangat inspiratif (tapi sekarang kegiatan bisnisnya justru lagi mandek, semoga bisa dilanjutkan lagi. Positifnya, kisah jatuh bangunnya Mba Lina ini bisa menjadi input yang sangat berharga).

Akhirnya saya jadi tertarik memperdalam ilmu perlapakan. Karena sepertinya hal yang paling mudah dan nggak jelimet untuk dijalani. Lapak, sebenarnya pedagang kaki lima 'kan? Tumben, saya kok nggak kepikiran malu atau apa, gitu ya... Virus entrepreneurnya dah lumayan masuk nih..

Selain Mba Lina, inspirasi juga banyak dari kegiatan TDA yang berlapak ria, antara lain blognya Mas Ananto http://hendrainc.blogspot.com/2007/03/ananto-sharing-tda-lapak-tangerang.html. Kisahnya Pak Hadi Prayitno juga seru http://balenajwa.blogspot.com/2009/04/ngelapak-di-tmii.html. Atau sharingnya Pak Tony Lisaffwan (sekarang blog-nya dimana sih, Pak?) sewaktu ikut Pasar Kaget Kalibata depan STEKPI.

Lapak pertama saya di Kompleks Vila Nusa Indah 3. Kebetulan (kalo niat lagi kencang, banyak kebetulan berdatangan, ya?) ketika saya lewat disana (saya punya rumah yang dikontrakkan, setahun sekali belum tentu saya tengok, tapi kok kemarin tumben kepingin lihat-lihat) ada pengumuman bahwa mulai minggu depan, tanggal 13 Desember 2009 akan dibuka Bazaar Warga. Infaqnya cuma Rp 5.000, setiap hari minggu jam 06.00 - 10.00. Selain bazaar, akan ada senam pagi. Untuk pendaftaran bisa menghubungi panitia yang nomornya ada di spanduk.

Wah, lumayan banget. Saya membayangkan, disini saya tidak perlu malu atau apa. Karena pesertanya pasti ibu2 atau keluarga yang niat belajar jualan. Hari sabtunya saya kulakan kaos, manset dan celana legging, total sekitar 4 lusin. Besoknya, dari rumah habis sholat subuh langsung berangkat, bawa meja dapur, kursi organ, bawa semua hanger baju yang ada dirumah dan pinjam jemuran (mulai sekarang, setiap hari minggu menjemur baju di pagar saja, karena jemurannya sedang dialih fungsi) : muat satu mobil Karimun. Dari Kelapa Gading, masih gelap-gelap, langsung tancap gas...

Sampai disana, dugaan saya benar. Isinya 'pemain baru' semua. Dagangan digelar serba alakadar, tapi ditawarkan dengan penuh semangat, dan dengan harga masih malu2 (niat ngambil untungnya masih pada mikir, hehe...). Hari pertama itu, dagangan saya termasuk yang lumayan laku. Saya jual kaos ABG yang dijual cuma 20ribuan. Ambil untungnya benar2 tipis. Maklum, saya masih perlu disemangati. Bentuk semangatnya antara lain adalah : ada yang mau beli jualan saya. Kalau ambil untung besar dan nggak laku, bisa down saya.

Tapi manset dan celana legging saya, susah banget lakunya. Ya, disini saya belajar selera pasar. Keuntungan hari pertama : Minus Rp 24 ribu, karena saya memperhitungkan bensin dan tol. Untuk tidak memperdalam kerugian, saya bela-belain nggak beli makan/minum. Prihatin deh..


Minggu depannya, saya ikut lagi. Tetangga saya, sudah nambah modal tenda. Saya sudah nambah modal body display. Intinya, peserta Bazaar yang kemarin, minggu ini semua sudah dalam tahap 'mengembangkan sayap' bisnis masing-masing. Jenis barang yang dijual dibanyakin, meja2 ditambah, display ditambah. Harga lebih variasi. Ada yang sudah mulai berani cetak brosur. Ck..ck..ck... hebat juga semangatnya para beginner ini.

Wah, wah, persaingan makin tajam nih. Tapi alhamdulillah pembelinya juga lebih banyak. Saya masih tetap minus. Tapi cuma Rp 9 ribu. Insya Alloh, minggu depan bisa surplus.

Nah kebetulan (lagi), pulang dari Villa Nusa Indah 3 saya lewat Pulomas untuk isi bensin. Ya, ampun... di sana ada pasar kaget juga. Surving sana-sini, ternyata sudah 4 tahun.


Saya kemana aja selama ini ya? Kok baru tahu. Jalan-jalannya cuma ke Mall, sih... Ditimbang-timbang, kalo saya jualan disini, Insya Alloh bisa surplus, karena bensin dan tol tidak usah dipikirkan... Selain itu, pengunjungnya juga jauh lebih ramai, tidak hanya sekedar pengunjung yang sedang olahraga pagi.

Bismillah, dicoba deh...

















Jumat, 01 Januari 2010

Mengenalkan Anak pada Dunia Usaha

Mengenalkan anak pada dunia usaha, awalnya saya coba cari 'literatur pembenaran'. Salah satunya ada di http://blog.keuanganpribadi.com/mendidik-si-ucup-menjadi-pengusaha, atau buku Mendidik Anak Menjadi Pengusaha dari Wiji Suprayogi.

Alhamdulillah, kegiatan paling menyenangkan bagi kedua anak saya adalah : bersama mamanya. Mungkin karena saya harus meninggalkan rumah untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari, sementara papanya adalah pelaut yang berbulan-bulan baru pulang. Jadi they're always miss their parent. Sehingga diajak kemanapun, anak-anak tetap happy, selama bersama mama...

Selain ikut les untuk mendukung pelajaran sekolah, anak-anak hanya sedikit kenal game yang hanya hura-hura, seperti balap motor, fighting, dsb. Kebanyakan game yang mereka punya adalah game bekerja. Jadi pelayan restoran, punya toko, pengasuh anak, dsb. Tujuannya supaya mereka tidak awam dengan dunia cari uang saku dimasa sekolah.

Selanjutnya ya mereka ajak mereka melihat seperti apa dunia kerja itu. Dulu, ayah saya bekerja di perusahaan asing retail. Setiap minggu dia ajak saya muter keliling memeriksa toko-toko, melihat dia menyapa customer, memuji dan menegur pegawai, dan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi toko tersebut. Pengalaman tersebut cukup bermanfaat untuk diaplikasikan ketika saya ditempatkan di cabang oleh kantor, dimana saya harus berhadapan dengan retail customer. Setiap minggu saya punya tugas tambahan untuk menyapa customer sekedar atensi atau untuk menyampaikan produk baru. Sayangnya saya tidak bisa ajak anak-anak. Karena bisnis kantor saya berbeda dengan bisnis kantor ayah saya. Kalau saya bawa anak-anak, malah jadi bumerang, karena saya terlihat tidak profesional.

Oke, ada waktunya untuk mengenalkan mereka dunia kerja formal nantinya. Sekarang waktunya dunia informal. Jadi pedagang dululah. Akhirnya pilihan pada barang yang digemari anak-anak : mainan, makanan, atau pakaian. Pilihan jatuh pada pakaian anak. Saya ikut sertakan mereka untuk memilih model, melipat pakaian, menggantung, dan menempelkan label harga.

Selanjutnya mereka akan saya ajak jualan. Insya Alloh mereka bisa menjadi anak-anak yang kreatif, tabah dan dan pantang menyerah.

Ada satu pembenaran lagi yang saya peroleh :

Marti Ahtisaari mantan presiden Finlandia berkata dalam penganugrahan nobel (disiarkan di RCTI tanggal 31 Desember 2009) : Saat ini terdapat 1.3 milyar kaum muda yang membutuhkan pekerjaan. Hanya 300 juta yang berhasil mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang pantas. Kemana 1 milyar sisanya? Akan kita biarkan jadi kriminal, atau direkrut oleh teroris? Mendidik mereka jadi entreprenur adalah cara untuk mencegah hal tersebut.

Well, banyak benarnya. Bahkan perusahaan besarpun akan mengalami masalah penurunan market share bila kebanyakan pegawainya lebih suka mengerjakan tugas-tugas administrasi. Jiwa entrepreneur tidak hanya berguna untuk diri sendiri, tapi juga untuk perusahaan tempat kita bekerja, bila kita menganggap perusahaan sebagai milik sendiri yang perlu dijaga dan dikembangkan.


MENYIAPKAN MASA DEPAN ANAK

Hidup saya sejauh ini lancar-lancar saja. Saya tidak pernah melihat kedua orangtua seperti kerepotan atau banyak mikir tentang sekolah, pekerjaan dan masa depan anak-anaknya. Tapi kok beda dengan saya sekarang ya?

Melihat sekolah di kelompokkan (bahkan sekolah dasar negeri dibagi menjadi sekolah standar reguler, standar nasional, standar internasional). Universitas Negeri yang sudah berswasta-ria. Biaya masuk kuliah negeri yang bisa puluhan sampai ratusan juta. Saya jadi mikir, bagaimana nasib anak saya nanti?

Kantor saya cukup membekali saya dengan ilmu financial planning. Bahwa berapapun penghasilan, sebenarnya bukan masalah, asalkan ada kemauan untuk melakukan planning dan disiplin dalam menjalankannya.

Saya berusaha, agar pada saatnya nanti ada cukup biaya untuk sekolah yang dimimpikan oleh anak-anak :

Karena percaya telah menjaga kesehatan keluarga dengan baik, saya lebih memiliki asuransi unit link (lebih ke investasi) daripada asuransi jiwa yang based pada kematian atau penyakit, sehingga hasilnya nanti saya harap lebih optimal.

Saya berinvestasi pada property dengan ukuran kecil, karena kabarnya lebih likuid untuk dijual. Saya akan siap menjualnya pada saatnya anak masuk kuliah nanti.

Punya saham? Belum dululah... Minimal harus punya 50 juta untuk deposit di Broker. Tapi saya punya reksadana.

What else, untungnya saya tidak fashionable, sehingga tidak banyak uang terbuang untuk shopping fashion. Lumayan, jadi bisa menabung dan tidak grasa grusu gesek kartu kredit.

Tetap saja saya gak pede. Mendengar masuk kedokteran UI bisa 200 juta. Mendengar ada teman pegawai (level supervisor) terpaksa membuat surat miskin agar anaknya dapat keringanan untuk masuk Universitas Negeri (sempat bikin rame karena pihak Universitas melakukan konfirmasi ke kantor. Masa' kantor saya yang terkenal hebatnya, punya pegawai mengeluarkan surat miskin. Saya rasa ini bukan salah si pegawai, tapi dari dulu kita semua sudah terpatri bahwa masuk UN itu murah, jadi orangtua pede aja cuma mengandalkan otak sang anak).

Selama saya belum masuk kategori big boss, sepertinya gak akan saya bisa ngejar angka-angka fantastis biaya pendidikan. Jadi, masa depan anak saya, tergantung pada anak itu sendiri.

Kalau dia pintar, bisa dapat beasiswa. Karena saya bukan turunan jenius, sepertinya anak saya juga. Tapi dalam tubuh saya mengalir karakter bersemangat dan kerja keras. Yang penting tentukan goalnya, dan harus percaya bahwa hasil yang dicapai adalah buah dari semangat dan kerja keras.

So, kalau dia mau kerja kantoran dengan kedudukan lumayan (sehingga cukup lega untuk sedekah dan memberikan pendidikan yang baik untuk keluarga), dia harus berusaha meraih pendidikan formal yang baik. Anak-anak saya bukan jenius, tapi saya percaya mereka smart. Jadi carilah jalan untuk sukses di pendidikan formal dengan modal keuangan tidak seberapa dari orangtuanya.

Kalau pendidikan formal yang baik sulit dicapai, saya tidak mau anak-anak saya jadi pengangguran. Saya sudah lebih dari separuh menjalani hidup (rata-rata umur orang Indonesia hanya 60 tahun 'kan?). Minimal yang bisa saya sumbangkan pada bumi yang akan segera saya tinggalkan ini adalah saya tidak menurunkan para benalu.

Jadi, mulai sekarang saya tunjukan dunia lain kepada anak-anak. Ada dunia lain selain berangkat pagi pulang malam yang selama ini dilakoni kedua orangtua mereka : dunia usaha.

Orangtuanya ini tidak punya keturunan pedagang, kami selalu sukses bekerja pada pihak lain. Sehingga untuk menunjukkan dunia lain (yang kami sendiri belum pernah terjun didalamnya) ini, jangan diketawai ya, Nak. kalau banyak errornya. Yang jelas, tidak sedikitpun mengambil hak dari kantor saat ini. Tujuannya agar semua tindakan tetap berkah, karena tidak ada yang dirugikan.

Kelak, anak-anak silahkan memilih. Dengan selalu melihat, mendengar dan ikut terjun membantu, mereka tidak akan canggung untuk masuk kemanapun.